Pages

Translate

Friday 13 January 2012

Mengenal Tentang L/C





Regulasi dan pasar selalu berantem? “Kadang-kadang, ya!” ungkap seorang eksportir. Dia contohkan keharusan eksportir menggunakan L/C (letter of credit) yang membuat risau tersebut. Maklum, peraturan Menteri Perdagangan telah mewajibkan sejumlah komoditas ekspor memakai L/C. Deadline-nya, 1 April 2009 untuk CPO dan produk pertambangan dan 31 Agustus 2009 untuk cacao, karet dan kopi.
Memakai L/C memberi rasa aman karena importir mencairkan pembayaran pada bank (perwakilan) yang ditunjuk pemerintah di luar negeri. Uangnya tetap dalam rupiah dan pulang ke Indonesia. Tak bertahan di luar negeri berupa dolar, yang menguntungkan importir. Maklum, negara mereka banyak yang mengalami kekeringan likuiditas gara-gara krisis Amerika Serikat (AS).

Kaum eksportir mendebat bahwa beban akan bertambah karena pembeli akan membebankannya kepada mereka sehingga pembayaran lebih lama. Akibatnya, daya saing kita melemah. Padahal, banyak negara tak mewajibkan L/C.

Tatkala kompetisi perdagangan internasional dalam merebut pasar kian tajam, Non-L/C tampaknya lebih strategis. Jangan lupa, jika importir bisa memililih hanya mengimpor dari negara yang menguntungkan mereka. Tentu, masih ada negoisasi yang win-win solution.

Seorang eksportir bercerita, bahwa buyer Jepang biasanya suka diam jika pebisnis Amerika mengajukan harga. Eh, si AS menyangka harganya terlalu tinggi. Si Jepang masih diam sampai si AS memberi harga yang ia berkenan.

Buyer memang cerewet. Pengiriman harus tepat waktu. Produk sesuai pesanan, baik jumlah dan mutu hingga soal ukuran. Jika tidak, mereka mengklaim, malah menolak kiriman dan ogah membayarnya. Rugilah awak!

Bahkan, hanya gara-gara packing (kemasan) barang yang diekspor tidak menggunakan bahan yang bisa didaur ulang (recycling), importir di Uni Eropa cenderung menolaknya. Repotnya jika kita menolak Non L/C, buyer asing berani beralih ke eksportir negara lain.

Resiko politik dan ekonomi selalu ada. Tapi resiko itu, secara regulasi, bisa dijamin oleh Asuransi Ekspor Indonesia (ASEI), BUMN milik Departemen Keuangan itu. Kasus-kasus gagal bayar memang domain ASEI. Jika semua persyaratan sudah oke, ASEI selalu membayar kasus gagal bayar.

Jaminan ASEI itu perlu jika terjadi pergolakan politik atau perang di negara tujuan ekspor. Atau terjadi gara-gara dampak krisis keuangan finansial global, yang sekarang sedang mencekam dunia.

Mengenali mitra importir dan negara tujuan, apakah sedang perang, bergolak secara politik dan finansial, sangat penting. Tinggal buka internet saja. Tak perlu terbang ke sono.

Dulu, negara-negara bekas pecahan Sovyet pernah diterpa gonjang-ganjing politik dan ekonomi. Juga pernah mencekam Timur Tengah. Persis Indonesia di tahun 1965-1966 dan kejatuhan Orde Baru pada 1998 silam.

Alangkah baiknya jika ada daftar kategori negara tujuan ekspor. Mana yang beresiko dan sebaliknya. Ada pula laporan monitor setiap negara termasuk regulasi dan perubahan regulasi perdagangan dan devisa. Sepertinya, ini adalah tugas KBRI yang dikoordinasi Departemen Luar Negeri dan Departemen Keuangan.

Tapi beresiko atau tidak, eksportir nasabah ASEI bisa di-take over oleh ASEI. Sehingga berbisnis dengan negara yang rawan berisiko sekali pun tetap saja aman, malah bisa meraih laba. Lain hal jika ASEI tak lagi seberdaya dulu, mungkin karena pengaruh krisis keuangan global yang merembes kian kemari.

Selalu melekat pula keharusan efisiensi. Biaya kolesterol, rampingkan saja. Otomatis harga jual lebih rendah dan berdaya kompetisi. Harus diintip pula harga produk negara lain; lebih murah, lebih mahal?

Mutu barang selalu terjaga dan konstan. Kalau hari ini berkualitas tapi lusa dikurangi, baik ukuran dan mutunya, mitra asing akan kehilangan selera. Mereka bisa hengkang ke negeri lain, dan kita pun sepi iseng sendiri.

Sudah itu, rutinitas pengiriman komoditas selalu on time. Ibarat membaca koran mesti di pagi hari. Kalau loper datang kesiangan, pelanggan kecewa dan pindah ke koran lain.

Bagaimana dengan pameran di mancanegara? The firts is very difficult. Aturlah secara rapi jali stand, pelaksanaan, informasi hingga ke mutu produk terbaik, enak dipandang, nyaman dipakai dan harga bersaing. Ada jodoh, nego dan transaksi pun jadi deh. Tapi mana ada sekali pameran saja, lalu nego dan transaksi. Tak kenal maka tak sayang, bukan?

Ada eksportir hendak mengirit. Lalu, memegang sendiri pameran itu, dan terpaksa bolak-balik ke berbagai negara, dan akhirnya besar pasak dari tiang.

Tak ayal, peranan Mak Comblang yang bernama trading house atau trader menjadi penting. Mungkin, ini lebih efisien, meskipun ada fee yang harus dibayar.

Ada kecuriaan bahwa jika bergantung kepada trader, pencari rente yang ulung, membuat eksportir tidak mandiri.Apalagi mata rantai dan biaya bertambah pula.  Haruskah membuka perwakilan di luar negeri agar lebih irit?

Tampaknya, harus dihitung mana yang efisien, menggunakan trader atau membuka kantor cabang sendiri. Jika opsinya membuka kantor cabang, bikinlah yang ramping. Tak kolesterol, baik personel dan bujetnya. Saya dengar, kantor Asian Agri di Singapura dan Hong Kong imut-imut saja, kok.

Sesungguhnya menjadi eksportir itu penuh gairah. Dalam memburu informasi harga, apalagi di masa krisis keuangan finansial global ini, bisa saja fluktuasi harga bergelombang, kadang naik dan turun secara mendadak sontak. Monitor melalui internet, sangat direkomendasikan.

Rasa nyaman memakai produk pun menjadi arena persaingan. Yang mengganggu kesehatan bisa menjadi isu persaingan. Bahkan cara produksi yang kontroversial membuat kita teringat bahwa CPO yang berasal dari perkebunan sawit dianggap merusak lingkungan, harus dijawab dengan “piar” yang jitu.

Sebagai penutup, jangan kaku dengan teori. Toh, teori datang dari praktek yang siapa tahu sudah kuno. Lakukan saja terobosan baru, siapa tahu berhasil. Kecil-kecilan saja. Jika gagal resikonya kecil. Jika berhasil, skalanya bolehlah diperbesar dan next, diperbesar lagi.

No comments:

NEWS